1/20/2017

Bukan seperti ini !


Sudah menjadi kewajiban memang, mereka bekerja keras untuk memenuhi kehidupan keluarga kecilnya, tidak peduli hingga tulang belulang itu menjadi rangkaian batu es nan tidak bisa digerakkan. Mungkin menurutnya itulah risiko hasil keputusannya jika memilih membangun keluarga. Kejam sekali keputusan itu, pikirku. Bekerja membanting tulang, membanting langit mengubah malam terasa pagi dan hasilnya adalah semua fasilitas ini. Salah satunya rumah ini. 
Rumahku terbilang indah dan megah, ini kenyataan, maka izinkan aku untuk memperkenalkannya. Design rumah ini lebih banyak berunsurkan oriental mulai dari masuk hingga keluar sampai interiornya mengusung tema tersebut. Ciri khas dari rumah bergaya oriental adalah pintu model gesernya, jadi jangan kaget jika kalian harus berhadapan dengan jenis pintu tersebut di rumah ini dan setahuku ada darah japanese dalam diriku jadi mungkin itu yang melatarbelakangi pembangunan rumah jenis ini.
Disetiap dinding penuh lukisan beragam tema entah apa maksudnya mungkin hanya sebagai penarik mata, setiap tapak tangga dihiasi kalimat motivasi tentunya untuk memotivasi, halamanpun luas dipenuhi bunga bermekaran dan pohon mangga nan rindang, ruang tamu yang tidak sesak, dapur yang mendukung hasrat untuk memasak, ruang keluarga yang lengkap dengan hiburan, sepetak ruang teruntuk ibadah lengkap dengan aset pendukungnya seperti halnya mukena;sajadah;sarung;Al-Quran, tak tanggung-tanggung terdapat ruang karaoke, ruang fitness serta mini park yang letaknya dibagian tertinggi rumah, terpasang AC disetiap ruang dan kamar yang aku rasa itu adalah keharusan, CCTV disetiap sudut rumah untuk aset keamanan. Ah iya, di sini pun terdapat perpus mini tapi aku hanya sekali ke sana karena tidak ada bacaan yang kusukai.
Coba lihat, sangat mudah bagiku untuk medekripsikan detail kulit maupun isi dari rumah ini dan hal itu sama jika topiknya adalah mereka, seharusnya.
“Sepi yah”
Aku tidak merespon, toh itulah kenyataannya
“Baru kali ini diajak ke rumahmu dan wow... pantes aja betah di dalem.”
Ketahuilah aku tidak mengajak tapi kalian yang memaksa, “aku ke kamar dulu, bersenang-senanglah.” Ujarku.
Kalian boleh iri dengan rumahku, lantas aku pun boleh iri dengan kehangatan di rumah kalian. Kalian bisa berkata bahwa aku beruntung dibesarkan dalam keadaan mampu, lalu akupun bisa berkata kalian beruntung mendapat semua kasih sayang itu. Kalian bisa jadi iri dengan pekerjaan mereka yang terdengar sangat mengesankan, dan bisa jadi aku iri dengan hal yang sama kepada kalian yang masih bisa bercengkrama ria. Kalian selalu iri dengan anak tunggal yang bernasib indah sepertiku, lucunya aku iri dengan kalian yang setidaknya bisa berasumsi demikian.
“Wah udah ada di meja makanannya, siapa yang masak?”
“Ada-lah, seseorang yang mengurusnya”
“Hhmm senangnya punya koki pribadi”
Kumohon... cukup sudah untuk memuji, fokuslah makan!
“Tapi, kapan ayah dan ibumu pulang? Ini sudah menjelang malam” tanya salah satu dari mereka.
Secepat kilat kuraih gelas untuk meminumnya, aku harap mereka tidak bisa membaca ekspresi wajah ini. “Sedikit lagi pulang, mungkin” jawabku dengan intonasi yang dibuat senormal mungkin.
Meja makan ini memang lebih enak jika setiap kursi terisi penuh atau setidaknya satu kursi saja untuk menemaniku, ku harap salah satu dari mereka, yang entah dimana gerangan.
Bibi dan paman tidak bisa menemaniku untuk makan, karena tidak terbiasa makan di meja dengan beralaskan kursi juga karena mereka selalu makan terlebih dahulu sebelum aku, alasannya begitu. Bibi dan paman.... untuk memanggil begitu saja masih terasa menggelikan, bagaimana bisa panggilan tersebut tertuju untuk hubungan tanpa ikatan darah atau perkawinan? Tapi, tetap saja setauku merekalah yang terus menerus tulus merawatku. Bibi yang memasaki semua makanan lezat untukku, mencuci pakaianku, membersihkan seisi rumah ini dan paman yang selalu mempercantik taman, membersinkan kolam serta mengantar jemputku kemanapun. Mereka sepasang suami istri, tinggal di sini entah sejak kapan... tidak masalah bagiku karena mereka sangat membantu, kamar mereka ada di bawah dekat dapur, jika kalian masuk melalui pintu depan terlihat di pojok kiri, itulah kamar mereka.
“Selamat tidur, Nak”
“Ayolah sudah malam, kamu pasti juga lelah”
“Duluan, saya di sini sebentar”
Lama sejak itu kudengar suara pintu tertutup. Setiap malam dengan keadaanku setengah sadar ku rasakan kehadiran mereka di dalam kamar, bila itu benar maka lucu sekali, setakut itukah untuk menampakkan diri di saat aku sedang sadar. Kesalahan yang membuatku marah. Biarlah kalian mengeluarkan beragam asumsi tentang diriku, yang pasti saat itu aku sangat marah. 
Aku teringat saat-saat yang seharusnya bahagia untukku, tapi tidak lagi setelah mereka hancurkan menjadi serpihan. Saat itu adalah hari sabtu dan sekolah libur, tidak ada jadwal dan keinginan untuk keluar, jadi kuputuskan untuk di kamar. Hingga aku dengar suara bel berdering, aku melangkah ke pintu dan membukanya karena bibi dan paman sedang tidak ada, kusuruh mereka pulang kampung setelah sebelumnya melewati perdebatan yang panjang hingga berujung mereka setuju untuk pulang.
“Ada kiriman cake teruntuk Ananda Aisyah Kegou”
Itu adalah namaku, segera aku ambil dan meletakkannya di atas meja dengan aku yang berdiri memandangi cake di depanku. Setelah kubuka ternyata terdapat tulisan kecil dalam amplop yang sedikit terbalut krim cake.

Untuk dek nanda
Ini bibi dan paman, tadi mampir sebentar ke toko kue karena keinget kalo sekarang ulang tahun dek nanda.
Selamat ulang tahun dek nanda, maaf bibi dan paman gak ngucapin langsung, tadi lupa hehe...
Semoga dek nanda suka kuenya ya, jangan liat kecil besar kuenya yaa hehe...

“Aku suka, terima kasih”
Air mata ini tidak bisa berkompromi, entah apa yang aku tangisi, entah siapa yang aku tangisi dan entah untuk apa aku menangis. Apa yang harus dirasakan, senang atau sebaliknya? Coba kalian bayangkan, berapa kali hari spesial dalam setahun terlaksana, tidak mungkin kalian lahir sebanyak dua kali atau lebih dalam setahun, mungkin iya jika kalian amoeba atau dapat membelah diri tapi kenyatannya mustahil.
Jika mereka tidak bisa hadir untuk semua hari-hariku, maka setidaknya tolong hadirlah dalam satu hari itu. Lihatlah kontribusi bibi dan paman, mungkin memang tidak mengatakannya langsung dan hanya membelikan cake yang walau aku makan sendiri pun tidak akan kenyang, tapi lihatlah bukti bahwa mereka masih menyempatkan diri untuk mengucapkannya dan tidak berpikir lambat untuk mengeluarkan dompet demi menghiasi kartu ucapan itu, serta yang terpenting adalah ketulusan dan kejujuran dalam menyampaikan, bibi dan paman memang lupa tapi tidak melupakan.
Aku tidak butuh kiriman kue untuk merayakannya, lilin untuk membuat permohonan dan pesta untuk memeriahkan, semua itu tidak berarti, hal-hal bodoh itu tidak pernah bisa memenuhi kekosongan ini jika beliau belum juga mengerti.
Tidakkah beliau mengerti? Ataukah, jika pertanyaan itu dibalikkan ke diri ini maka apakah aku mengerti? Apakah aku mengerti jikalau selama ini aku telah memanjatkan doa yang tidak disadarkan? Keluh kesah yang tidak seharusnya mengalir hebat telah membuat pikiran ini gelap, hati ini beku dan jiwa ini kosong, hal yang beliau lakukan memang kesalahan tetapi semua itu tidak sehebat apa yang aku lakukan, adalah sebuah kejahatan.
Tidak aku sangka, aku menangis untuknya hingga terisak sampai dada ini sesak seperti sedang di angkasa tanpa pakaian Neil Amstrong. Tidak aku sangka, beliau tidak mengatakan apapun tentang penyakit yang menggerogoti tubuhnya setidaknya katakan melalu pesan, toh selama ini pesan kalian selalu aku baca walau malas untuk membalas. Mengapa tidak bisa kau katakan, jika tentang itu, walau melalui pesan, seharusnya tidak masalah untukku. Tidak aku sangka, mereka benar-benar tidak akan hadir dalam keseharianku untuk selamanya.
Jika memang pekerjaan adalah prioritas utama dalam hidupnya walau itu artinya tidak pernah membuat kita saling jumpa, maka aku mengalah untuk menjadi prioritas kedua, tidak apa, aku tidak masalah sekarang. Akan lebih masalah jika hal ini terjadi, tapi sudah terjadi dan memang sangat bermasalah. Aku... saat ini di depan laptopku menengok masa kelamku, mengingat kekejamanku, menangis lagi memupukkan rasa bersalahku. Ini berat, tolong percayalah.
Teringat lagi dan terus teringat bersamaan dengan semua keadaan nyata yang tidak bisa dibantahkan. Menyeka lagi setiap titik air mata yang menetas menjadi setiap bukti penyesalan, membawaku dalam hanyutan, dalam lamunan, dalam kekosongan yang menghilangkan segala warna dalam kehidupan. Tidak, dahulu pun aku tidak berwarna, tidak, setidaknya hitam adalah warnanya. Tapi, kini aku pun tidak tahu warna apa yang pantas mengisi atau tidak ada warna yang pantas untuk mengiisi.
Hal yang paling mengiris hati disaat seharusnya aku tahu beliau nyatanya memiliki perhatian terhadap diri ini. Masa laluku adalah kesalahan, dimana yang saat itu telinga ini tertutup rapat, hati ini terlanjur membeku, virus-virus keegoisan sudah menyebar luas mematikan rasa belas asih. Sekarang, aku benar-benar kosong.
Jika waktu bisa terulang dan benar itu adanya, maka hal pertama yang akan aku lakukan adalah merubah diri ini, klise kedengarannya, tapi itulah yang hanya aku inginkan. Jikalau saat itu aku lebih cepat menyadarinya, maka akan aku ucapkan satu kata ajaib “maaf” teruntuk mereka. Keadaanku saat ini terlihat mengerikan, seharusnya jerit tangis, derai air mata dan isak keras, semua itu bisa digantikan dengan jerit tawa, derai bahagia dan candaan, jika, ingatlah! jika saja aku cepat sadar dengan semua kesalahan.... maaf, maksudku semua kejahatanku.

Bahkan sampai saat ini sangat sulit untuk memanggilnya orang tua, seorang ayah dan ibu. Bukan apa-apa, yakinlah aku sangat ingin memanggil mereka seperti itu, tapi pikirku, untuk apa sebutan tersebut jika tugasku sebagai anak tidak becus dilaksanakan. Aku takut setiap memanggilnya begitu maka akan menyakiti hati mereka. Mahakarya Tuhan janganlah kalian sanggah, maksudku sosok orang tua. Mereka adalah sosok yang kokoh dan tak tertandingi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar